Friday, April 20, 2007

Made in Germany

Ada sesuatu yang menarik yang saya temukan ketika membaca Chaos after Paradise, sebuah otobiografi yang ditulis oleh Pans Schomper, seorang Belanda yang lahir dan besar di Indonesia.

Schomper mengisahkan bahwa pada tahun 1930-1940an, Jepang belum sejaya sekarang dalam ekonominya. Saat itu ada strategi yang cukup unik yang dilakukan oleh pemerintahan Jepang untuk menggerakan roda perekonomian negeri matahari terbit itu. Mereka membangun sebuah kawasan industri (semacam cikarang atau cibitung di kita) dan menamai kawasan itu “Germany”. Dengan demikian ketika produk yang dibuat di kawasan itu mencantumkan label made in Germany, itu bukan bohongan. Toh, memang dibuatnya di Germany. Cuma memang, Germany yang ini adanya di Jepang bukan di Eropa.

Selain tersenyum, saya dibuat kagum ketika membaca bagian itu. Tersenyum karena melihat strategi yang digunakan oleh pemerintahan Jepang saat itu memang cukup lucu. Dengan cerdiknya (atau liciknya?) mereka memanfaatkan nama besar Jerman tanpa melanggar hukum internasional apapun. Kalaupun ada yang dilanggar, mungkin etika bisnis yang pada saat itu gelegarnya belum sedahsyat tahun 70an. Selain itu, lucu saja membayangkan ada satu negara yang pemerintahannya kepikir buat memakai strategi yang ajaib ini.

Itu pula yang membuat saya kagum, Jepang saat itu mampu memanfaatkan strategi yang begitu sedehana untuk dapat meningkatkan ekonomi negaranya. Produk Jerman saat itu memang lagi terkenal-terkenalnya di pasar internasional.

Terlepas dari cara yang sedikit culas, penunggangan nama Jerman tenyata mampu meningkatkan ekonomi bangsa itu. Buktinya, di pertengahan 1940an Jepang memiliki kekuatan militer yang cukup dahsyat. Sesuatu yang mustahil dimiliki tanpa ditopang perekonomian yang kuat.

Logika si empu yang menelurkan strategi ini mungkin sederhana. Sebagai pemain baru di percaturan ekonomi global, sangat sulit untuk bisa memperkenalkan produk yang mereka buat di pasar yang sudah dikuasai amerika dan eropa. Supaya produknya bisa sedikit dikenal, perlu langkah awal, dan strategi kota Jerman itu menjadi pilihan yang diambil. Nah, setelah itu barulah sedikit demi sedikit bisnis dilakukan dengan semangat kejujuran.

Strategi kota Jerman ini bukan satu-satunya strategi yang dilakukan oleh Jepang untuk bisa semaju sekarang dalam bidang ekonomi. Yang paling kita kenal tentu strategi menconteknya. Ya, Jepang terkenal sebagai pecontek yang sangat handal. Bisa dibilang bahwa kesuksesan produk Jepang kebanyakan diawali dengan mencontek. Strategi ini kebanyakan dilakukan oleh perusahaan Jepang pada tahun 1960-an sampai 1970, saat mereka mencoba bangkit dari keruntuhan ekonomi pasca perang dunia kedua.

Tentu saja, praktik mencontek yang dilakukan oleh Jepang bukan strategi murahan yang dapat digunakan oleh siapapun. Jepang menerapkan strategi a la mahasiswa pemalas yang bernilai bagus: copy, paste edit. Dengan prinsip itu, Jepang menghindari kondisi reinventing the wheel; daripada memulai segala sesuatunya dari scratch lebih baik memperbaiki apa yang sudah ada.

Prinsip ini tampaknya pula yang mendasari satu inovasi sosial yang sangat terkenal yaitu Kaizen (continous improvement). Salah satu karakteristik kaizen yang membedakannya dengan inovasi ala barat adalah sifatnya yang tidak drastis. Kaizen menekankan pada perbaikan yang gradual dan berkesinambungan, berbeda dengan inovasi yang bersifat monumental dan insidental.

Ada banyak sebenarnya inovasi dalam bidang manajemen dan manufaktur yang bikin Jepang sukses dan akhirnya diikuti oleh amerika dan eropan. Misal SMED dan poka-yokenya shigeo shinggo atau Just in Timenya Toyota. Kesemuanya itu memiliki ide dasar yang sederhana.

Itulah Jepang... penuh dengan ide-ide brilian yang sebenarnya sangat sederhana. Tapi, sesuatu yang sederhana itu juga tidak akan bisa sukses tanpa implementasi yang konsisten. Dan konsistensi dan determinasi merupakan kekuatan kultural Jepang yang paling kuat.

Kembali lagi pada made-in-germany nya Jepang, mungkin di luar sana ada sebuah kota bernama Indonesia ya? Dan di sanalah Nadine Chandrawinata dibesarkan.

Mungkin...

Labels: ,

Tuesday, April 10, 2007

Taman Cinta

Izinkan saya kembali bercerita tentang sesuatu yang –seperti biasa- tidak cukup penting.

Hari minggu tanggal 23 Maret kemarin, saya dan beberapa teman blogger menyempatkan diri untuk pergi ke taman cinta. Jika anda tidak familiar dengan frase itu dan mengira itu adalah sebuah taman yang biasa digunakan oleh pasangan-kekasih-yang- sedang-dimabuk-asmara untuk memadu kasih, perkiraan anda sedikit meleset. Taman cinta bukanlah nama permanen dari sebuah taman. Ia hanyalah salah satu dari serangkaian program marketing sebuah produk eskrim yang bertujuan untuk menguatkan posisi mereka di pasar anak muda. Maklumlah ketika bicara tentang cinta, anak-anak muda memang selalu menjadi sangat antusias. Karenanya cinta dan segala embel-embel yang berkaitan dengannya menjadi salah satu strategi klasik yang digunakan oleh para produsen untuk merebut hati (atau mengelabui?) konsumen remaja. Strategi yang standar namun terbukti cukup ampuh..

Anyway, saya di sini bukan untuk memberi kuliah marketing tentang S T P nya Philip Kotler. Marilah kita serahkan hal tersebut pada ahlinya. Saya hanya akan sedikit berbagi cerita dan pengalaman yang tidak biasa ini .

Semua dimulai ketika saya bersama tiga teman blogger, sebutlah Mr. X, Mr. Y dan Mr. Z* habis menghadiri syukuran rumah baru/ulang tahun/wisuda teman blogger saya yang lain, Ubrit (yang ternyata sangat TI sekali dengan efektivitas dan efisiensinya ^_^). Kami bersepakat untuk menuju kampus dalam rangka ikut briefing salah satu acara kaderisasi di kampus kami tercinta.

Tiba di depan kampus, kami melihat keramaian di taman depan kampus kami yang ternyata even marketing produk eskrim itu. Saya dan Mr. X (yang waktu itu sedang memboncengi Mr. Y) ternyata memiliki gagasan yang sama: mengujungi even yang jarang ada di dekat kampus kami ini. Maklum kampus kami ini adalah kampus yang (dulunya) gersang dari even-even semacam ini.

Tanpa basa basi Mr. Y pun menyetujui ide kami. Segera saja kami menelpon Mr. Z yang terlanjur masuk kampus duluan untuk segera datang ke depan gerbang kampus. Setelah diceritakan mengenai taman cinta itu, Mr. Z meluncur untuk segera menuju posisi kami yang sudah stand by di depan gerbang taman.

Di depan gerbang itu, kami mulai menertawakan kegilaan kami sendiri. Empat orang yang bitter, skeptis dan sedikit sinis tentang hal-hal yang cheesy (masing-masing dengan alasan yang berbeda; mungkin karena background kehidupan cinta yang tidak terlalu indah, idealisme, atau hal lainnya yang hanya masing-masing dari kami yang tahu), berkumpul dan memutuskan untuk masuk ke dunia yang bagi sebagian besar dari kami cukup asing untuk dimasuki.

Akhirnya setelah tertawa dan melontarkan komentar-komentar bodoh, kami menemukan rasionalisasi yang cukup memuaskan ego masing-masing dari kami: atas nama riset. Sebagai bloggers sekaligus filosof cinta jadi-jadian, even ini merupakan kesempatan bagi kami untuk mendapatkan data-data yang kami perlukan dalam menulis dan membentuk teori.

Berjalanlah kami ke depan pintu gerbang taman cinta, di sana sudah berdiri dengan megahnya booth produk eskrim yang menjadi penyelenggara acara ini. Setelah mengeluarkan (dengan paksa) uang sepuluh ribuan dan ribuan masing-masing dua lembar dari kantong Mr Z, kami mendapatkan tiket masuk dan empat eskrim tentunya (sampai sekarang saya belum melunasi utang 5500 perak itu). Tiket masuk itu terdiri dari tiga sub-tiket yang dapat kami manfaatkan buat mengakses beberapa stan yang tersedia di sana. Ada stan luv doctor, luv game dan luv bike. Stan lainnya seperti sumur cinta, stan foto atau makanan tidak mensyaratkan potongan tiket supaya kita bisa masuk.

Sambil menikmati eskrim yang ternyata rasanya cukup enak, kami mulai jalan menjelajahi arena yang dipenuhi abg ini. Situs pertama yang kami temukan adalah wishing well. Di sana pengunjung bisa menuliskan keinginan mereka (dalam konteks percintaan tentunya) dan berharap mungkin suatu saat doanya akan didengar. Uniknya, tulisan yang dimasukkan ke sana nantinya akan ditampilkan di satu layar yang bisa dilihat oleh siapapun. Sambil tersenyum penuh makna kami membaca dan menganalisis tulisan-tulisan yang ada di situ. Banyak tulisan yang cukup menarik untuk diperhatikan, kebanyakan bermaknakan “smoga xxxx bisa suka ama gw” atau “ please let xxxx fall for me” atau “Dinda, di manakah kau berada” Ya intinya sih kalimat-kalimat sedikit desperate dan puitis untuk bisa mendapatkan cinta.

Namun kami tergelitik oleh satu tulisan yang penulisnya kami yakini berasal dari kampus kami. Isinya “Semoga bisa dapet IP bagus dan cepet lulus”. Kalimat ini bisa ditafsirkan sebagai si penulis mendambakan cinta dari orang yang julukannya si “IP bagus dan cepet lulus” (panggilan yang cukup aneh) atau cinta sejati si penulis adalah transkrip dengan deretan huruf A di dalamnya. Kami akhirnya menarik kesimpulan bahwa yang kedua lah yang paling mendekati kenyataan. (Hebat ya kami?).

Saya dan teman-teman kembali menyusuri taman yang sehari-harinya sering dipakai mentoring dan rapat ini, setelah menikmati membaca keinginan terdalam orang-orang, . Kali ini kami mengunjungi stan luv game, tapi antriannya cukup panjang, dan kami sedang tidak dalam mood –meminjam istilah Mr.Z- untuk bermain cinta. Walhasil, kami cuma menonton pengunjung lainnya memainkan permainan cinta ini.

Puas melihat orang-orang yang sedang bermain cinta, kami melangkah kembali ke stan berikutnya. Selewat kami melintasi tempat praktek si dokter cinta yang ternyata antriannya merupakan antrian yang paling panjang dibandingkan stan lain. Ternyata banyak juga ya pengunjung yang mengalami gangguan dalam kesehatan cintanya seperti post-putus-syndrome, schizo-more-than-a-fren-ia, dan lain-lain.

Kali ini kami mampir di stan Foto (sampai sekarang kami mempertanyakan signifikansi dari stan itu). Di situ dipajang foto-foto selebritis beserta pasangannya (yang kebanyakan selebritis juga) lokal maupun interlokal, dalam berbagai pose. Lucunya, ada beberapa selebritis yang pasangannya tidak begitu terkenal (rupanya si pembuat stan terlalu malas untuk melakukan sedikit riset di google), dan di sana dituliskan nama pasangan itu seperti ini. “(Nama selebritis) dan pacar”. Misalnya Agnes Monica dan pacar atau Angelina Jolie and a Man (tulisan ini tidak sesuai dengan yang tertulis di stan, asumsikan saja Brad Pitt bukan siapa-siapa).

Kami tidak lama di stan itu mengingat ketidakpahaman kami akan signifikansi stan itu, Saya dan temans akhirnya memutuskan beristirahat sejenak dari taman cinta dan pergi ke mesjid sebelah untuk shalat.

Sekedar info, taman tempat diselenggarakannya even marketing ini tidak hanya memiliki satu pintu masuk. Ada pintu masuk lain yang langsung menyambung pada mesjid kampus kami. Nah, pada gerbang ini terdapat plang dari organizer yang bertuliskan “emergency exit”. Teman saya Mr. Y menemukan situasi itu cukup lucu dan metaforistik. Katanya, plang itu seolah-olah menyatakan “Ketika api cinta sudah membahayakan, keluarlah dari bahaya itu dengan berijab-kabul di mesjid”. Tentu saja kami nyengir begitu menyadari kebetulan yang cukup bermakna ini.

Usai shalat, kami kembali ke taman cinta, pembenarannya: kebutuhan data belum terpenuhi dari riset sebelumnya. Di taman sudah tampil kerispatih dengan lagu-lagu mellownya dan petuah-petuah bijaknya tentang cinta. Saya dan keempat teman saya memutuskan untuk nonton sebentar dan menikmati penampilan life yang jarang-jarang ini. Ternyata, cukup sulit menikmati kerispatih ditemani tiga orang anti-cheesy-stuff-er, laki-laki pula. Akhirnya setelah mendengarkan beberapa lagu andalan kerispatih, kami meneruskan perjalanan.

Masalahnya, ke mana kami sekarang? Hampir semua stan telah kami jelajahi. Hanya saja kami memang belum sedikitpun memanfaatkan tiga potongan tiket yang tergenggam di tangan kami masing-masing. Merasa mengendarai love bike secara berpasangan tidak akan terlalu menyenangkan dan dapat menimbulkan fitnah, Mr. X, Mr. Y, Mr. Z dan saya akhirnya menuju luv doctor. Ya… setidaknya kami bisa melakukan general check up.

Sampai di sana kami mengikuti antrian yang panjangnya bukan kepalang seperti ular naga. Semenit kemudian, mbak-mbak organizernya stan itu (bisakah saya memanggilnya perawat?) mendatangi kami (orang depan kami sih sebenarnya) dan mengatakan bahwa “dengan berat hati antrian harus dipotong”.

Bermain dengan imajinasi liar, kami mulai gelisah. Mungkinkah sang perawat menyadari niat kami yang tidak tulus, atau betapa helplessnya teman-teman saya**, dan memutuskan untuk memotong kami dengan kamuflase orang di depan kami supaya tidak terlalu kelihatan?

Syukurlah ternyata bukan, sang suster akhirnya menjelaskan secara ilmiah dan matematis mengenai keterbatasan waktu yang dimiliki oleh penyelenggara serta panjang antrian yang sudah melewati batas. Meskipun tanpa menjelaskan distribusi service time-nya poisson atau normal, jenis antrian yang dipakai (G, M, 3 atau apa)***, perawat itu cukup dapat memberikan penjelasan yang masuk akal dan membuat kami cukup tenang karena imajinasi kami tidak terbukti benar.

Akhirnya sorepun berakhir dan kami segera menuju kampus untuk mengikuti acara kaderisasi tadi. Entah karena euphoria, atau karena memang hati kami pada dasarnya dipenuhi oleh cinta, kami semua berperan sebagai malaikat penenang nan baik hati ketika acara berlangsung****.

Saya tutup cerita taman cinta ini dengan kutipan dialog yang saya baca di salah satu plang yang didirikan di sana.

Co: “Sayang, kita cari tempat yang agak dingin yuk?”

Ce: “Lho, kenapa? di sini kan enak tempatnya, ngga panas juga!”

Co: “Soalnya aku lagi deket kamu sih, bisa-bisa hatiku meleleh kalo ngga didinginin”

Hadezig!!!



*)

karakter tersebut disamarkan untuk melindungi reputasi teman-teman saya.


**)

bercanda


***)

itu parameter-parameter dalam teori antrian yang sempat kami pelajari


****)

sebenarnya, ini sih karena kami dari dulu juga tidak suka dengan pendekatan jahiliyah dan kami hadir untuk mencoba menatralisir keadaan yang belum sepenuhnya tercerahkan itu.

Labels: